Ma'rifat artinya meliputi sesuatu seperti apa adanya. Saya katakan,bahwa di dalam Al-Qur' an terkadang disebutkan laf azh ma' rifat dan adakalanya disebutkan lafazh ilmu. Lafazh ilmu yang banyak disebutkan di dalam Al-Qur'an memiliki batasan yang relatif lebih luas. Allah memilih bagi Diri-Nya asma Al-Ilmu dan segala kaitannya. Allah mensifati Diri-Nya dengan Al-Alim, Al-Allam, alima, ya'lamu, dan mengabarkan bahwa Dia memiliki ilmu, tanpa menggunakan lafazh ma'rifat. Sebagaimana yang sudah diketahui bersama, apa yang dipilih Allah untuk Diri-Nya adalah yang paling sempurna jenis dan maknanya. Lafazh ma'rifat disebutkan di dalam Al-Qur'an berkaitan dengan orang-orang Mukmin dari Ahli Kitab secara khusus, seperti firman-Nya yang disebutkan di atas, yaitu orang-orang yang mendengarkan wahyu yang diturunkan kepada Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam. Begitu pula firman-Nya yang lain,
"Orang-orang yang telah Kami berikan kitab kepadanya, mereka mengenalnya (Muhammad) seperti mereka mengenal anak-anaknya sendiri."(Al-An'arn: 20).
Golongan ini lebih menandaskan ma'rifat daripada ilmu. Bahkan banyak di antara mereka yang sama sekali tidak peduli terhadap ilmu,yang menganggapnya sebagai pemotong dan hijab, tidak seperti ma'rifat.(Sebab sesuatu yang paling mereka benci adalah ilmu yang benar dan bermanfaat, yang diawali dengan perkataan seseorang, "Allah beflrman...." atau, "Rasulullah bersabda...." Yang membuat kedok mereka terbuka adalah ilmu ini. Karena itu mereka menyimpang dari jalan yang biasa dilalui manusia, agar mereka lebih mudah untuk memancing manusia).
Sementara orang-orang yang istiqamah di antara mereka menegaskan nasihat kepada manusia agar mencari dan memperhatikan ilmu. Menurut mereka, wali Allah tidak akan sempurna perwaliannya jika tidak memiliki ilmu. Sebab Allah tidak akan mengambil wali yang bodoh. Sebab kebodohan merupakan pangkal segala bid'ah, kesesatan dan kekurangan. Sementara ilmu merupakan dasar segala kebaikan, petunjuk dan kesempurnaan.
Ada perbedaan antara ilmu dan ma'rifat dari segi lafazh dan maknanya. Dari segi lafazh, kata kerja ma'rifat hanya membutuhkan satu obyek saja, seperti perkataan seseorang, "Araftu zaidan" artinya aku kenal Zaid. Sedangkan kata kerja ilmu membutuhkan dua obyek. Sedangkan perbedaan maknanya dapat dilihat dari beberapa sisi:
1. Ma'rifat berkaitan dengan dzat sesuatu. Sedangkan ilmu berkaitan dengan keadaannya. Dapat engkau katakan, "Aku memiliki ma'rifat tentang ayahmu, dan aku mengetahuinya sebagai orang yang shalih dan berilmu." Yang pertama ma'rifat (a'rifu) dan yang kedua ilmu (a'lamu). Karena itu disebutkan perintah di dalam Al-Qur'an agar mengetahui (ilmu) dan bukan mengenal (ma'rifat), seperti firman-Nya, "Maka ketahuilah bahwa sesungguhnya tiada llah selain Allah."(Muhammad: 19).
Ma'rifat merupakan kehadiran sesuatu dan penyerupaan ilmiahnya di dalam jiwa. Sedangkan ilmu merupakan kehadiran keadaan, sifat dan kaitannya di dalam jiwa. Ma'rifat menyerupai gambaran dan ilmu menyerupai pembenaran.
2. Biasanya ma'rifat diperunrukkan bagi sesuatu yang hilang dari hati,yang sebelumnya telah diketahui. Jika kemudian sesuatu itu diingatkan kembali, maka dikatakan, "Dia memiliki ma'rifat tentangnya."
Atau bisa juga bagi sesuatu yang disifati dengan sifat-sifat yang bisa ditangkap jiwa. Jika kemudian sesuatu itu disebutkan sifat-sifatnya,maka dikatakan, "Dia memiliki ma'rifat tentangnya."
Ma'rifat menyerupai ingatan tentang sesuatu, yaitu menghadirkan apa yang tidak ada dalam ingatan. Maka kebalikan dari ma'rifat adalah pengingkaran atau tidak mengenal, sedangkan kebalikan ilmu adalah kebodohan. Firman Allah,
"Mereka mengetahui nikmat Allah kemudian mereka mengingkarinya."(An-Nahl: 83).
3. Ma'rifat mengharuskan pembedaan antara yang dikenal atau yang diketahui dengan yang lainnya, sedangkan ilmu mengharuskan pembedaan antara apa yang disifati dengan yang lainnya. Perbedaan ini berbeda dengan yang pertama, yang kembali kepada pengenalan dzat dan sifat, sedangkan perbedaan ini pada pembebasan dzat dan sifat dari yang lainnya.
4. Jika engkau katakan, "Aku memiliki ma'rifat tentang Zaid", maka tidak memberikan manfaat apa pun kepada lawan bicara, karena dia masih menunggu kelanjutannya, yaitu keadaan macam apa yang akan engkau kabarkan kepadanya? Jika kemudian engkau katakan, "Seorang yang mulia dan pemberani", maka engkau memberikan manfaat kepadanya. Jika engkau katakan, "Aku memiliki ma'rifat tentang Zaid", berarti engkau menegaskan kepada lawan bicara bahwa engkau membedakannya dari yang lain.
5. Ma'rifat merupakan ilmu tentang jenis sesuatu secara terperinci, yang bisa dibedakan dari selainnya. Berbeda dengan ilmu yang berkaitan dengan sesuatu dan bersifat global. Perbedaan ini seperti yang dikatakan Syaikh, "Meliputi sesuatu seperti apa adanya." Berdasarkan batasan ini, maka tidak bisa digambarkan sama sekali bahwa Allah bisa dikenal, dan hal ini termasuk sesuatu yang mustahil. Sebab Allah tidak bisa diliputi dengan ilmu, ma'rifat dan penglihatan. Allah lebih agung dari hal-hal yang bisa dilihat dan dikenal. Firman-Nya,
"Dia mengetahui apa yang ada di hadapan mereka dan apa yang ada di belakang mereka, sedang ilmu mereka tidak dapat meliputi ilmu-Nya." (Thaha: 110).
Bahkan hakikat batasan ini, tidak ada kaitan ma'rifat dengan makhluk yang paling besar hingga sedetail-detailnya, yaitu matahari. Perbedaan antara ilmu dan ma'rifat menurut golongan ini, bahwa ma'rifat adalah ilmu yang diterapkan orang yang berilmu dengan segala konsekuensinya. Mereka tidak mendefinisikan ma'rifat berdasarkan makna ilmu semata, bahkan mereka tidak mensifati ma'rifat kecuali terhadap orang yang mengetahui Allah dan mengetahui jalan yang menghantarkan kepada Allah, bencana dan perintangnya. Orang ini mempunyai suatu keadaan bersama Allah yang secara bersama-sama bisa mempersaksikan ma'rifat.
Orang arif (yang memiliki ma'rifat) menurut mereka adalah orang yang memiliki ma'rifat tentang Allah dengan segala sifat, asma' dan perbuatanNya, kemudian Allah membenarkan mu'amalahnya, memurnikan tujuan dan niatnya, melepas akhlak-akhlaknya yang buruk, kemudian sabar menerima ketetapan hukum Allah, baik yang berupa nikmat atau cobaan, kemudian berdoa kepada-Nya berdasarkan bashirah terhadap agama dan ayat-ayat-Nya, kemudian memurnikan seruan kepada Allah semata seperti yang dibawa Rasul-Nya, tidak dicampuri dengan pendapat manusia, qiyas dan pemikiran mereka, tidak menimbangkan dengan apa yang dibawa Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam. Inilah sebutan untuk orang arif yang hakiki. Mereka telah mendefinisikan ma'rifat dengan segala pengaruh dan kesaksian-kesaksiannya.
Di antara mereka ada yang berkata, "Di antara tanda ma'rifat tentang Allah ialah munculnya rasa takut kepada-Nya. Siapa yang ma'rifatnya tentang Allah semakin bertambah, maka bertambah pula ketakutan kepada-Nya."
Ada pula yang berkata, "Ma'rifat mengharuskan adanya ketenangan. Siapa yang ma'rifatnya tentang Allah semakin bertambah, maka bertambah pula ketenangannya."
Ada seorang teman yang bertanya kepada saya, "Apa tanda ma'rifat seperti yang mereka isyaratkan itu?" Saya jawab, "Kebersamaan hati dengan Allah." Dia menambahi, "Tandanya yang lain ialah merasakan kedekatan hati dengan Allah, sehingga dia mendapatkannya amat dekat dengan Allah."
Asy-Syibly berkata, "Orang arif tidak mempunyai kaitan, orang yang mencintai tidak mengeluh, hamba tidak boleh mengadu, orang yang takut tidak tetap dan tak seorang pun bisa lari dari Allah."
Ini merupakan definisi yang amat bagus, karena ma'rifat yang benar harus mampu memotong segala kaitan dari hati. Keterkaitannya hanya dengan ma'rifat tentang Allah, sehingga tidak ada kaitan selainnya. Ahmad bin Ashim berkata, "Siapa yang paling memiliki ma'rifat tentang Allah, maka dia paling takut kepada-Nya. Hal ini ditunjukkan firman-Nya,
"Sesungguhnya yang takut kepada Allah di antara hamba-hamba-Nya hanyalah orang yang memiliki ilmu." (Fathir: 28).
Begitu pula sabda Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam,
"Aku adalah orangyang paling memiliki ma'rifat tentang Allah di antara kalian dan akulah yang paling takut kepada-Nya."
Ada pula yang berkata, "Siapa yang memiliki ma'rifat tentang Allah, maka hidupnya menjadi jernih dan tenang, segala sesuatu takut kepadanya, tidak takut kepada semua makhluk dan merasakan kejinakan di sisi Allah."
Yang lain lagi berkata, "Siapa yang memiliki ma'rifat tentang Allah, maka dia merasa senang kepada Allah, senang kepada kematian dan semuanya senang kepadanya. Sementara siapa yang tidak memiliki ma'rifat tentang Allah merasa rugi karena tidak mendapatkan dunia. Siapa yang memiliki ma'rifat tentang Allah tidak menyisakan kesenangan kepada selain-Nya. Siapa yang membual memiliki ma'rifat tentang Allah, padahal dia menghendaki selain-Nya, maka kesenangannya itu mendustakan ma'rifatnya. Siapa yang memiliki ma'rifat tentang Allah, maka Allah mencintainya, tergantung dari kadar ma'rifatnya, lalu dia takut, berharap dan tawakal kepada-Nya, merindukan perjumpaan dengan-Nya, malu kepada-Nya, mengagungkan dan memuliakan-Nya. Di antara tanda orang arif ialah hatinya bisa menjadi cermin saat melihat hal gaib yang mengajak kepada iman. Seberapa jauh kejernihan cermin itu, maka sejauh itu pula dia bisa melihat Allah, hari akhirat, surga dan neraka, para malaikat dan rasul."
Ada seseorang yang bertanya kepada Al-Junaid, "Ada segolongan orang yang mengaku memiliki ma'rifat. Mereka shalat tanpa melakukan gerakan, dan ini dianggap masalah kebajikan dan takwa."
Maka Al-Junaid berkata, "Mereka adalah orang-orang yang memang sengaja menggugurkan amal. Ini bukan masalah yang ringan dalam pandangan saya. Orang yang mencuri dan berzina, jauh lebih baik keadaannya daripada mereka yang berpendapat seperti itu. Orang-orang yang memiliki ma'rifat tentang Allah justru mengambil amal dari Allah dan kepada Allah mereka kembali. Andaikan aku berumur seribu tahun lagi, maka aku tidak akan mengurangi amal kebajikan walau sebiji atom pun, kecuali jika umurku sudah dihentikan."
Di antara tanda yang dimiliki orang arif ialah tidak menyesali apa yang lepas dari tangannya dan tidak gembira karena sesuatu yang diterimanya. Sebab dia melihat segala sesuatu dengan mata kefana'an dan kemusnahan, yang pada hakikatnya seperti bayangan atau hayalan. Al-Junaid berkata, "Orang arif tidak disebut arif kecuali dia menjadi seperti tanah yang siap dipijak orang baik dan buruk, atau seperti awan yang memayungi segala sesuatu, atau seperti hujan yang mengairi orang yang disukai dan yang tidak disukai."
Yang lain berkata, "Orang arif tidak disebut arif kecuali jika dia memberikan harta miliknya sebanyak yang dimiliki Nabi Sulaiman, agar tidak membuatnya berpaling dari Allah sekejap mata pun."
Di antara tanda orang arif ialah menghindari makhluk yang ada di antara dirinya dan Allah, sehingga mereka tak ubahnya mayat yang tidak bisa mendatangkan manfaat dan mudharat kepadanya, tidak bisa mendatangkan mati dan hidup. Dia juga menghindari kaitan antara dirinya dan makhluk, sehingga dia berada di tengah mereka seperti orang yang tidak memiliki jiwa.
Dzun-Nun berkata, "Tanda orang arif ada tigamacam: Cahaya ma'rifatnya tidak memadamkan cahaya wara'nya, tidak mempercayai batin dari ilmu yang dapat mengalahkan zhahir hukum, dan limpahan nikmat Allah tidak merusak tabir hal-hal yang diharamkan Allah."
Masih banyak pengertian-pengertian lain yang diberikan orang tentang ma'rifat. Namun yang terakhir inilah yang paling baik, sekalipun masih membutuhkan penjabaran. Sebab banyak orang yang melihat wara' sebagai akibat dari minimnya ma'rifat. Padahal ma'rifat ini amat luas jangkauannya. Orang yang arif adalah orang yang lapang dan dilapangkan.
Sementara kelapangan bisa memadamkan cahaya wara'. Ma'rifat orang arif tidak akan memadamkan wara'nya, dan wara'nya tidak bertentangan dengan ma'rifatnya, seperti anggapan sebagian orang, bahwa orang arif ialah yang tidak mengingkari kemungkaran. Maksud perkataan-nya, "Batin dari ilmu yang dapat mengalahkan zhahir hukum", diisyarat-kan kepada orang-orang yang menyimpang, yang menisbatkan kepada perilaku, yang lebih mementingkan olah rasa dan wirid-wirid yang bertentangan dengan hukum syariat, yang berlaku di kalangan mereka dan tidak bisa lagi dihindari.
Mereka meyakininya dan meninggalkan zhahir hukum. Contoh tentang hal ini amat banyak, dan semacam inilah yang dikritik para pemimpin golongan ini.
Maksud perkataannya, "Limpahan nikmat Allah tidak merusak tabir hal-hal yang diharamkan Allah", bahwa nikmat yang banyak bisa membuat hamba melampaui batas dan mendorongnya untuk menggunakan nikmat itu untuk hal-hal yang baik dan tidak baik, untuk yang halal dan tidak halal.
Sementara kebanyakan nikmat yang diberikan kepada mereka tidak terbatas untuk hal-hal yang halal, tapi juga untuk hal-hal yang tidak halal, lalu dia membisiki dirinya bahwa ma'rifatnya tentang Allah mampu membentengi dirinya dari hal-hal yang dilarang. Maka dia berkata, "Orang arif tidak akan terpengaruh oleh dosa seperti yang terjadi pada diri orang yang bodoh." Atau bahkan dia beranggapan bahwa dosanya lebih baik daripada ketaatan orang-orang yang bodoh. Tentu saja ini merupakan tipu daya yang paling besar, dan yang sebenarnya adalah kebalikannya, sebab apa yang ditanggung orang bodoh tidak seperti yang ditanggung orang arif. Jika orang bodoh dihukum satu kali, maka orang arif dihukum dua kali lipat. Karena itu hukuman yang dijatuhkan kepada orang merdeka dua kali lipat dari hukuman yang dijatuhkan kepada budak. Maka Allah menjelaskan bahwa hukuman yang dijatuhkan kepada para istri Nabi dua kali lipat.
Di antara orang salaf berkata, "Tidurnya orang arif sama dengan berjaga dan napasnya merupakan tasbih. Tidurnya orang arif lebih baik daripada shalatnya orang yang lalai."
Dikatakan begitu karena hatinya tetap hidup meskipun keduanya matanya terpejam. Ruhnya sujud di bawah 'Arsy, ada di hadapan Rabb dan Penciptanya, meskipun jasadnya telentang di atas tempat tidur. Tidurnya lebih baik daripada shalatnya orang yang lalai. Sebab badan orang yang lalai ini berdiri di dalam shalat, tapi hatinya berenang di genangan dunia dan angan-angan. Karena itu keadaannya saat berjaga sama dengan tidur, sebab hatinya mati.
Ada yang berkata, "Bergaul dengan orang arif dapat mengajakmu dari enam perkara ke enam perkara: Dari keraguan ke keyakinan, dari riya' ke ikhlas, dari lalai ke dzikir, dari keinginan terhadap dunia ke keinginan terhadap akhirat, dari takabur ke tawadhu' dan dari buruk sangka ke nasihat."
Menurut Syaikh, ada tiga derajat ma'rifat, dan manusia dalam ma'rifat ini bisa dibedakan menjadi tiga golongan.
1. Ma'rifat sifat dan ciri. Yang paling tinggi ialah yang disebutkan berdasarkan risalah, yang kesaksian-kesaksiannya muncul dalam ciptaan, karena melihat cahaya dalam kesendirian dan kebaikan kehidupan akal untuk menanamkan pikiran. Kesaksian-kesaksian ini juga muncul dalam kehidupan hati, dengan pandangan yang baik antara peng-agungan dan i'tibar. Ini merupakan ma'rifatnya orang awam, yang syarat-syarat keyakinan tidak bisa terhimpun kecuali dengan halhal ini. Ada tiga sendi yang melandasinya: Penetapan sifat dengan nama tanpa ada penyerupaan, penafian penyerupaan, putus asa dalam mengetahui detailnya dan mencari ta'wilnya.
Ada tiga perbedaan antara ciri dan sifat:
- Ciri disertai dengan perbuatan yang baru, sedangkan sifat merupakan perkara yang tetap bagi dzat.
- Sifat-sifat yang berhubungan dengan dzat tidak bisa dijelaskan dengan istilahciri, seperti wajah, tangan, kaki dan jari. Sifat merupakan makna yang meliputi apa yang disifati, sehingga wajah tidak bisa disebut sifat.
- Ciri adalah apa yang muncul dari sifat dan yang memang menonjol, yang diketahui orang khusus dan umum.
Namun ada yang berpendapat, ini hanya sekedar dua bahasa yang tidak ada perbedaan di antara keduanya, yang maksudnya satu dan permasalahannya pun juga dekat. Kita tidak akan mempermasalahkan hal ini, tapi kita melihat pada maksudnya, bahwa tidak ada yang ditetapkan terhadap hamba dalam ma'rifat dan juga dalam iman, sehingga dia beriman kepada sifat Allah Azza wa falla, mengenalinya dengan ma'rifat yang dapat mengeluarkannya dari wilayah kebodohan terhadap Rabb. Iman kepada sifat merupakan asas Islam, kaidah iman dan buah pohon ihsan. Siapa yang mengingkari sifat, berarti telah merusak asas Islam, iman dan ihsan. Allah menganggap orang yang mengingkari sifat-sifat-Nya merupakan orang yang berburuk sangka kepada-Nya. Allah memberi ancaman kepadanya yang tidak pernah diberikan kepada orang-orang musyrik, kafir dan pelaku dosa besar.
Firman-Nya,
"Kalian sekali-kali tidak dapat bersembunyi dari persaksian pendengaran, penglihatan dan kulit kalian terhadap kalian, kalian mengira bahwa Allah tidak mengetahui kebanyakan dari apa yang kalian kerjakan. Dan, yang demikian itu adalah prasangka kalian yang telah kalian sangka terhadap Rabb kalian, prasangka itu telah membinasakan kalian,makajadilah kalian termasuk orang-orang yang merugi. "(Fush-shilat:22-23).
Allah mengabarkan bahwa pengingkaran mereka terhadap salah satu dari sifat-sifat-Nya ini, karena mereka berburuk sangka terhadap Allah. Inilah yang kemudian membuat mereka binasa. Allah juga berfirman tentang orang-orang yang berburuk sangka kepada-Nya,
"Mereka akan mendapatkan giliran (kebinasaan) yang amat buruk dan Allah memurkai dan mengutuk mereka serta menyediakan bagi mereka neraka Jahannam, dan (neraka jahannam) itulah sejahat-jahat tempat kembali." (Al-Fath: 6).
Tidak pernah disebutkan ancaman yang lebih keras daripada yang diberikan kepada orang-orang yang berburuk sangka kepada Allah ini. Mengingkari sifat-sifat dan hakikat asma'-Nya merupakan buruk sangka yang paling buruk terhadap Allah.
Karena yang paling disukai Allah adalah pujian kepada-Nya dengan menggunakan asma', sifat dan perbuatan-Nya, maka mengingkari asma',sifat dan perbuatan-Nya merupakan kufur yang paling besar, yang berarti lebih buruk daripada syirik.
Semua rasul, semenjak yang pertama hingga penutup, diutus untuk menyeru kepada Allah dan menjelaskan jalan yang bisa menghantarkan kepada-Nya serta menjelaskan keadaan orang-orang yang diseru setelah mereka sampai kepada-Nya. Tiga kaidah ini merupakan urgensi dalam setiap agama yang disampaikan para rasul. Mereka memperkenalkan Rabb yang diserukan kepada-Nya dengan asma', sifat dan perbuatan-Nya dengan cara yang rinci, sehingga seakan-akan hamba bisa mempersaksikan-Nya dan memandang kepada-Nya yang berada di atas 'Arsy-Nya, yang mengatur segala-galanya. Kaidah kedua adalah memperkenalkan jalan yang menghantarkan kepada Allah, yaitu ashshirathul-mustaqim yang dipancangkan bagi para rasul dan pengikutpengikutnya, yaitu mereka yang mengikuti perin-tah Allah, menjauhi larangan-Nya, mengimani janji dan ancaman-Nya. Kaidah ketiga adalah memperkenalkan keadaan setelah sampai ke hadapan Allah, yang meliputi kehidupan hari akhirat, berupa surga dan neraka, yang diawali dengan hisab, menyeberangi ash-shirat dan timbangan.
Perkataan, "Yang paling tinggi ialah yang disebutkan berdasarkan risalah",dan seterusnya, bahwa Syaikh menyebutkan penetapan sifat yang menunjukkan wahyu yang datang dari sisi Allah dan disampaikan Rasul-Nya, indera yang menangkap pengaruh ciptaan, yang berarti menjadi bukti sifat-sifat ciptaannya, kehidupan akal yang menjadi baik karena tanaman pikiran, dan hati yang hidup karena pandangannya, antara pengagungan dan i'tibar.
2. Ma'rifat dzat dengan menggugurkan perbedaan antara sifat dan dzat,yang bisa menguat dengan ilmu keterpaduan, menjadi jernih di medan kefana'an, menjadi sempurna dengan ilmu keabadian dan mendekati keterpaduan.
Derajat ini lebih tinggi daripada derajat pertama, karena derajat pertama merupakan pandangan terhadap sifat, sementara derajat ini berkaitan dengan dzat yang meliputi sifat, meskipun dzat itu sendiri tidak lepas dari sifat.
Perkataan Syaikh, "Dengan menggugurkan perbedaan antara sifat dan dzat", bahwa memisahkan antara sifat dan dzat dalam wujud merupakan hal yang mustahil. Ma'rifat dalam derajat ini berkaitan dengan dzat dan sifat secara keseluruhan, tidak bisa dibedakan antara ilmu dan kesaksian. Hal ini lebih sempurna daripada kesaksian terhadap sifat semata atau terhadap dzat semata.
Sifat Allah termasuk dalam sebutan asma'-Nya. Asma' "Allah, Rabb,Ilah" bukan sekedar asma' dzat semata dan bukan merupakan sifat semata. Asma' Allah, Rabb, Ilah merupakan asma' dzat yang memiliki seluruh sifat kesempumaan dan keagungan, seperti ilmu, qudrah,iradah, sama', kalam bashar, hayat, baqa' dan lain sebagainya dari sifat-sifat kesempumaan yang dimiliki dzat Allah. Sifat-sifat-Nya ada dalam sebutan asma'-Nya. Pemisahan sifat dari dzat dan pemisahan dzat dari sifat merupakan hayalan yang tidak ada hakikatnya.
Sementara golongan Jahmiyah mengatakan bahwa Al-Qur'an adalah makhluk, dengan berdalil kepada firman Allah, "Allahlah Pencipta segala sesuatu". Menurut mereka, Al-Qur'an adalah sesuatu. Orang-orang salaf menyanggah pendapat mereka, bahwa Al-Qur'an adalah kalam Allah, dan kalam-Nya merupakan bagian dari sifat-Nya. Sementara sifat-Nya masuk dalam sebutan asma'-Nya. Allah bukan sekedar asma' bagi dzat yang tidak memiliki ciri, sifat, perbuatan, wajah dan tangan.
Itu adalah sesembahan yang tidak tampak namun bisa dihadirkan dalam pikiran, seperti sesembahannya golongan Jahmiyah, yang mereka anggap tidak keluar dari alam dan tidak pula masuk di dalamnya, tidak berhubungan dengan alam namun juga tidak terpisah dengannya.
3. Ma'rifat yang tenggelam di dalam kemurnian pengenalan, yang tidak bisa dicapai dengan pembuktian, kesaksian dan wasilah. Ma'rifat ini memiliki tiga sendi: Mempersaksikan yang dekat, naik untuk meninggalkan ilmu dan memperhatikan kebersamaan. Ini ma'rifatnya orang yang lebih khusus.
Menurut Syaikh, derajat ini lebih tinggi dari dua derajat sebelumnya,yang berkaitan dengan sarana dan kesaksian serta berhubungan dengan tuntutan, sedangkan derajat ini berkaitan dengan tujuan semata,terlepas dari sarana dan kesaksian.
Ma'rifat merupakan sifat hamba, sedangkan pengenalan merupakan perbuatan Allah dan taufik-Nya. Sifat hamba tenggelam dalam perbuatan Allah dan pengenalan-Nya kepada hamba. Ma'rifat pada derajat ketiga ini tidak bisa dicapai dengan sebbab apa pun, karena memang sebab menyingkir darinya dan sarana sudah terputus darinya.
Getaran Jiwa
Ada sebahagian insan makrifatullah yang terketar-ketar seluruh jasad kerana hati mereka amat khusuk kepada Zat Allah Ta'ala. Sudah diberitakan tentang Wali-Wali Allah yang terkadang jatuh rebah lalu pengsan tatkala mendengar nama Allah disebut. Perkara ini ada disebut didalam Al-Quran Al Karim. Malahan Allah Ta'ala kerap menyentuh perihal hati yang bergetar-getar ini didalam Al Quran. Silalah menyemak Kitabullah untuk mendapatkan dalil-dalil ini.
Wujudnya dalil Al Quran dan Al Hadith adalah penting untuk anda meyakinkan hati anda tentang apa-apa pandangan hati yang Allah titipkan ke atasnya. Tiba waktunya, anda akan melihat hakikat kebenaran pada diri anda sendiri dan juga pada alam semesta di luar sana. Semuanya dijadikan Allah Ta'ala untuk membantu insan mengenal apa itu kebenaran yang sejati.
Apabila anda telah mencapai makam makrifatullah, bagaimana untuk anda mengetahuinya? Ya, anda akan tahu nanti tanpa perlu merujuk kepada sesiapa.
Jangan sesekali anda tergoda mahupun tertipu dengan pelbagai alam yang mungkin anda tempuhi nanti di dalam perjalanan hati anda menuju ke makam makrifatullah. Alam tetap alam, bukan Zat Allah Ta'ala. Tuhan itu adalah Zat yang Sejati lagi Esa. Yang di tuju hati ialah Zat Allah Ta'ala atau di dalam bahasa Al Quran ialah Wajah Allah Ta'la.
"Inni wajjahtu wajhiya lillazi fatorossamawati wal ardho hanifa. Wa maa ana minal mushrikiin." Sesungguhnya aku menghadapkan wajahku di dalam keadaan bersih dan ikhlas kepada wajah Dia yang menciptakan langit dan bumi. Dan aku bukan dari kalangan orang-orang yang menyekutukan Allah Ta'ala.
"Demi masa, sesungguhnya insan itu berada di dalam kerugian, kecuali mereka yang beriman dan yang beramal soleh, dan yang mengajak kepada kebaikan dengan kebenaran (Al- Haq) dan yang mengajak kepada kebaikan dengan kesabaran."
Rahasia Titik Ba'
Dengan ilmu titik Ba’ yang diberikan oleh Allah sehingga atas izin Allah beliau sanggup menerawang ke alam Malakut dan sanggup melakukan hal-hal yang luar biasa diluar kemampuan manusia umumnya, itulah suatu Mu’jizat suatu Qaramah yang dianugerahkan oleh Allah kepadanya.
Ada apa dengan Titik Ba’ itu ? bagaimana sehingga seorang hamba yang mampu menyelam kesamudera ilmu Allah akan mendapatkan anugerah dan pencerahan ruhani yang maha dahsyat ? lalu apakah hanya dengan menyelam ke dalam titik Ba’ kemahadahsyatan itu akan tersingkap ? tidak adakah titik yang lain selain titik Ba’ ? sebagaimana Allah bisa disifati dan mensifati dari berbagai macam sudut cakrawala alam ?
Seorang Salik yang haus dengan Ilmu tentang Allah belumlah sempurna keilmuannya tentang Allah sebelum menyelam dalam berbagai misteri tentang Sifat, Asma, Af’al dan DzatNya Allah Ta’ala. Keempat terminal perjalanan ruhani ini adalah pintu pintu yang lain yang harus dilalui seorang Hamba sebelum mencapai terminal akhir tentang Allah. Terminal ini adalah pintu menuju Alam Malakut yang didalamnya seorang Hamba akan tercerahkan dengan Nur Ilahiyah, dimana sang hamba hanya bisa memandang alam ‘Ketiadaan ‘ alam ‘Kesunyian’ yang tiada bunyi, tiada gerak, dan yang ada hanya ‘Dia’ yang penuh Misteri.
Ketika seorang Hamba Allah, telah sampai dalam perjalanan dengan Maqam Ba’ (Bashar ) kepada Allah apakah telah sampai pula dan selesai perjalanannya menuju Allah ?
Ternyata belum…! Perjalanan itu masih panjang dan masih sangat jauh tak terhingga oleh ruang dan waktu, Sehingga perjalanan itu akan terlampaui oleh hanya dengan Bashar kepada Allah.
Memang, seorang Hamba bisa mencapai kepuasan spiritual ketika telah mencapai maqam ‘Ba’ shar’ dengan memandang kepada Dia. Tetapi perlu diketahui bahwa sesungguhnya seorang Hamba selain perlu mencapai maqam Ba’shar kepada Dia masih perlu menempuh maqam lain yaitu Ni’matullah kepada Dia. Jika seorang hamba telah mencapai kedudukan Ba’shar kepada Dia maka perlu baginya menyatu dengan ‘Kenikmatan’ bersamaNya. Dengan demikian Titik Ba’ yang masih berada dibawah anugerah dan wadah alam malakut perlu diangkat ke atas sehingga Titik itu menjelmakan dirinya menjadi Titik Nun.
Ya….! Titik Nun….! Bagaimana caranya….. ? Biarkanlah dirimu dalam genggaman ‘Af’al Nya Allah, pada saatnya engkau akan diangkat dari wadah alam malakut ke atas Lama Nur Ni’matullah bersamNya.
Seorang Arif pernah berdo’a :
Ya Allah ….Engkau yang telah meperjalankan hamba kepadaMu, .. dengan membuka pintu-pintu kemudahan bagiku, membukakan sebutir pintu hkmah rahasia tentang diriMu. Sesungguhnya Engkaulah yang Maha mengetahui akhir perjalananku kepada Mu.
Ya Allah …bantu aku mengenal diriku dengan diriMu, yang Maha Halus, mengenal namaku dari rahasia -rahasia AsmaMu yang Maha Terpuji karena sesungguhnya engkaulah yang Maha Menggenggam segala Tubuh, Hati , Nyawadan Rahasiaku.
Ya Allah…mudahkan perjalananku dari wadah Nur Ba’shar Mu dan angkatlah derajatku menuju wadah Nur Nun Mu. Tetapkan hatiku dalam Nur Nikmat bersama Nun Mu yang Engkau telah bersemayam didalamnya
Wahdatul wujud
Jadi keduanya berpengertian, kita dapat bersatu dengan dzat Allah. Dalam penggambaran karya-karya suluk di jawa yang berisi mengkritik ajaran para wali sembilan, misalnya suluk karya Syekh Siti Jenar (contoh lainnya adalah serat gatholokoco, dinamakan serat karena penulis suluk ini, Gatholokoco berpendapat bahwa suluk lebih cenderung ke islam), manusia dianggap memiliki 20 sifat-sifat Allah. Contohnya di antaranya; dzat Allah terdapat pada diri kita, jadi kita tidak perlu shalat karena dzat Allah sudah ada pada diri kita (Jawa: Islam Abangan). Hal-hal tersebut di atas dianggap sangat bertentangan dengan syariat islam menurut pengertian umum, dan Syekh Siti Jenar dihukum oleh para wali sembilan. (Sejarah Syekh Siti Jenar tidak terlalu jelas).
Wahdatul Wujud sebenarnya adalah suatu ilmu yang tidak disebarluaskan ke orang awam. Sekalipun demikian, para wali-lah yang mencetuskan hal tersebut. Karena sangat dikhawatirkan apabila ilmu wahdatul wujud disebarluaskan akan menimbulkan fitnah dan orang awam akan salah menerimanya. Wali yang mencetuskan tersebut contohnya adalah Al Hallaj dan Ibn Arabi. Meskipun demikian, para wali tersebut tidak pernah mengatakan dirinya adalah tuhan. Dan mereka tetap dikenal sebagai ulama alim.
Dalam dunia tasawuf, sering terdapat perbedaan antara ilmu syariat dan ilmu ma'rifat. Sebagai orang islam tentu saja diharuskan menguasai ilmu syariat. Dan ilmu ma'rifat atau ilmu tashawuf dengan kata lain ilmu hikmah, sangat ditekankan untuk mengambil sebuah hikmah. Hal tersebut telah diabadikan oleh Allah dalam Al-Qur'an Surat Al Kahfi tentang pertemuan Nabi Musa dan Nabi Khidir. Hal tersebut menunjukan Ilmu Syariat yang dikuasai Nabi Musa dari kitabnya (Taurat) dan Nabi Khidir yang mendapatkan langsung ilmunya dari petunjuk Allah yang penuh hikmah atau ilmu ma'rifat.
Dalam penggambaran awal tersebut sudah ditunjukan betapa susahnya memahami ilmu ma'rifat dengan ilmu syariat. Penggambarannya adalah seperti pertemuan antara daratan dan lautan. Dimana Musa diberitahukan, ia akan menemukan orang yang lebih pandai darinya disaat ikan yang dibawanya hilang. Ikan mati tersebut hidup kembali di suatu tempat ketika Nabi Musa dan pembantunya beristirahat. Hal itu merupakan penggambaran ilmu yang sangat susah sekali dimana ikan mati dapat hidup kembali, seperti Nabi Musa yang tidak dapat bersabar melihat perilaku Nabi Khidir yang dilihat secara syariat sangat bertentangan. Tetapi hal tersebut dilakukan Nabi Khidir dari petunjuk Allah yang penuh dengan hikmah. Jadi tentu saja hal-hal ma'rifat hanya dapat dipahami secara pribadi bagi orang yang diturunkan kepadanya secara langsung.
Meskipun ilmu ma'rifat terlihat sangat bertentangan dengan ilmu syariat, tetapi sebenarnya tidak. Jadi ilmu tersebut dapat dikatakan ilmu tinggi yang digali dari perjalanan pikir para wali dan tidak untuk disebarluaskan. Hal tersebut seperti terjadi pada Syekh Siti Jenar yang mendengarkan wejangan yang diberikan oleh Sunan Ampel kepada orang yang akhirnya menjadi seorang wali, yaitu Sunan Bonang. Siti Jenar adalah orang awam yang salah tangkap menerima wejangan tersebut. Tetapi dari kedua konsep tersebut, para ulama masih berbeda pendapat.
Selain perseteruan pendapat konsep wahdatul wujud dan wahdatul syuhud di jawa, hal itu juga terjadi pada kaum Syi'ah Isma'iliyah pada masa Al Hallaj. Hal yang berbeda pengertian terjadi dari definisi kaum syi'ah tentang zina, puasa, dan sabar. Mereka juga dianggap pemberontak dan dianggap musuh oleh raja dan para ulama. Peperangan yang terjadi tidaklah dari para ulama, tetapi oleh Raja yang menganggap mereka adalah pemberontak dan musuh politik. Al Hallaj yang hidup di masa itu, dia mengucapkan kata yang sangat menggemparkan: Ana Al-Haqq berarti Akulah kebenaran. Dia kemudian dianggap mendukung kaum syi'ah. Hal ini juga berarti permasalahan yang timbul dari perselisihan antara ilmu syariat, ilmu ma'rifat, dan kekuasaan atau politik. Semua yang terjadi adalah karena kesalahan pemahaman. Terbunuhnya Al Hallaj bukan karena ucapannya tetapi karena politik.Tetapi merupakan kesalahan Al Hallaj yang mengucapkan dan mengajarkan konsep Wahdatul Wujud (Ana Al-Haqq) kepada murid-muridnya. Bahwa hal tersebut adalah ilmu yang sangat pribadi dan hanya dimengerti oleh orang yang menerimanya. Selain itu, Al Haqq merupakan sifat-sifat Allah.
Ilmu syariat dan ilmu ma'rifat akan selalu menemui kesulitan untuk diajarkan terutama ke masyarakat awam karena ilmu ma'rifat bersifat pribadi dan ghaib. Hal itu merupakan rahasia bagi orang yang menerimanya.
Fana Billah
Sekarang kita akan memasuki lebih jauh dan mendalam lagi dalam hal ehwal tasauf dan perjalanan bathin pengamal tariqat khususiah sufiah. Sesungguhnya perjalanan bathin dalam mengenal dan menghampirkan diri kepada ALLah Taala sangat mendalam. Namun sedalam mana sekalipun ia sangatlah mudah apabila rahmat ALLah Tala datang mencurah. Sesungguhnya jauh ALLah Taala dengan hambaNya tidak berjarak dan dekat Dia dengan hambaNya juga tidak bersentuh.
Penulis telah menjelaskan semampunya tentang dzauk dan syuhud. Penulis merasakan sangatlah kecil dan dhaif dalam menjelaskan hal dauzk, syuhud dan fana ini. Penulis bukanlah guru yang mursyid, dan bukan juga ahlul makrifah. Penjelasan penulis dalam hal ini terlalu kerdil berbanding penjelasan orang yang Kamil dan yang Arif dalam ilmu kesufian ini. Maka penulis mengambil jalan dengan mempermudahkan bahasa dan pengertian sesuai dengan penulis sebagai orang awam, dan tulisan ini juga dibaca oleh kebanyakan orang yang awam juga.
Fana adalah berkait rapat dengan kedua-dua dzauk dan syuhud ini. Dzauk adalah kedapatan perasaan yang menyerap yang mencekam bathin. Apabila dzauk menyerang bathin maka secara langsung tersyuhudlah bathin. Syuhud adalah penyaksian dalam dzauk. Ibarat ketakutan menyerang maka mengenallah hakikat ketakutan ketika itu.
Fana bererti binasa, lenyap, hilang atau yang seertinya. Dalam istilah tariqat khususiah sufiah fana bermaksud hilangnya kesedaran inderawi atau jasmani apabila seseorang mengingati ALLah Taala. Dalam sejarah kesufian, ramai sekali pengamal tariqat khususiah sufiah mengalami fana, dan ramai sekali para arifin yang menulis tentang fana ini. Siapa yang tidak mengenali Abi Yazid Bistami, Al-Halaj, Ibnu Arabi, al-Kusyairi, Buhauddin Naqsyabandi, Muhammad Abd. Karim Samani, dan Ahmad Idrisiah?
Benarkah ini boleh berlaku? Mungkin kepada orang yang tidak pernah menjalani sistematika tariqat khususiah sufiah tentunya akan menafikannya. Meraka akan mengatakan walau seingat mana seseorang itu kepada ALLah Taala, tidak mungkin akan hilang ingatan kepada yang lain. Namun ia dengan mudah dijawab dengan tamthil penglaman hidup seperti ketakutan kepada harimau. Inilah tamthil mudah sekali menunjukkan apabila seseorang itu terlalu mengingati dan takut dengan harimau, maka hilanglah ingatannya kepada yang lain
Maka apabila bukti fana melalui ketakutan kepada sesama makhluk menunjukkan tamthil hakikat fana, maka demikianlah juga akan berlaku fananya manusia kepada ALLah Taala apabila terlalu mengingatiNya. Jazbah yakni tarikan bathin sangat memainkan peranan penting kearah fana ini. Dan jazbah ini biasanya ujud apabila sesorang itu mengamalkan zikiruLLah melalui sistematika tariqat khususiah sufiah. Bab zikir ini telah penulis jelaskan dahulu setakat kemampuan penulis.
Orang yang mengalami fana biLLah, akan hilang ingatannya kepada sesuatu yang lain. Dan dalam fananya itu dia akan melihat hakikat ALLah Taala yang Laithakamithlihi syai’un, yang bukan jisim, bukan aradh dan bukan benda. Ketika fana ini pencaindera dzahir tidak akan befungsi dan diganti dengan pancaindera bathin. Dari segi perbandingan, pancaindera dzahir takluknya kepada alam maya dan pencaindera bathin takluknya kepada yang ghaib. Maka apabila fananya pancaindera yang dzahir seperti mata dan telinga, maka terbukalah pancaindera yang bathin iaitu mata dan telinga yang bathin. Mata dan telinga yang bathin ini berserta hati yang dalam itulah yang mengenal ALLah Taala. Dan ketika itu jadilah ujud dan kelakuannya dengan ALLah Taala semata-mata. Inilah isyarat Nabi Sallallahu alaihiwassallam dalam suatu Hadith Qudsi bermaksud “Tidak cukup pendekatan hambaKu kepadaKu dengan hanya menjalankan ibadah yang diperlukan atasnya supaya menjadi Aku cintai. Tetapi hambaKu mendekati Aku dengan ia selalu memperbanyakkan amalan-amalan sunat demikian banyaknya sehingga dia Aku cintai. Maka apabila dia telah Aku cintai, maka pendengaranKu menjadilah pendengarannya yang mendengar dia dengannya, penglihatanKu menjadi penglihatannya yang melihat dia dengannya, tanganKu menjadilah tangannya yang ia memegang, dan kakinya yang dia berjalan dengannya. Dan jika dia meminta kepadaKu akan Aku berikan, dan jika dia meminta perlindungan dari segala kesusahan akan Aku lindung dia”.
Maka difaham darinya, mengenal ALLah Taala adalah di dalam maqam musyahadah. Dan fana adalah pintu maqam itu iaitu maqam berhadap-hadapan dengan ALLah Taala. Liqa ALLah Taala hanya akan didapati oleh orang-orang yang benar-benar mempunyai keimanan dan keinginan yang kuat untuk bertemu Tuhannya. Firman ALLah Taala bermaksud “Maka sesiapa yang ingin menemukan (liqa) akan Tuhannya, maka hendaklah dia mengerjakan amalan soleh dan janganlah dia mempersekutukan Tuhannya dalam ibadahnya dengan sesuatu”.
Hikmah Dzikir Untuk mencapai Makrifat
aku berlindung kepada Allah dari godaan syehtan yabg terkutuk
AllahKaum Sufi melaksanakan dzikir dengan begitu asyik dan khusyu’nya karena merasakan keni’matan, kelezatan dan kemanisan. Dengan berdzikir, mereka merasa begitu dekat dengan Tuhannya (qurb), merasa tenang jiwanya, merasakan tidak ada sesuatupun bahkan dirinya kecuali Allah (fana), dan memperoleh ilmu pengetahuan yang hakiki (ma’rifat).
Abu Sa’id Al-Harraz r.a. berkata: “Apabila Allah Ta’ala hendak mengangkat seorang hambanya menjadi Wali dari hamba-hambanya yang lain, ia membuka kepadanya pintu dzikir, maka apabila ia merasa lezat berzikir, dibuka kepadanya ‘babul qurb’, kemudian diangkatnya ke Majlisul Uns (tenang bathin), kemudian ditempatkan dia di atas kursi Tauhid, kemudian diangkat daripadanya hijab (penutup) dan lalu dimasukkan dia ke dalam ‘darul fardaniyyah’, dan dibukakanlah kepadanya ‘Hijabul jalali wal’uzmati’. Apabila sampai pada ‘jalali wal’uzmati’, ia merasa tak ada lagi yang lain, hanya Huwa (Dia) Allah, maka takala itu seorang hamba berada dalam masa fana.”
Adapun kejauhan dan kedekatan seorang hamba dari Tuhannya bukanlah berarti kejauhan atau kedekatan tempat dan waktu, tetapi sesungguhnya kejauhan atau kedekatan itu semata-mata karena lupa atau ingat hati terhadap Allah.
Kejauhan itu lupa hati.
Kedekatan itu ingat hati.
Kejauhan itu hijab (tertutup).
Kedekatan itu kasyaf (terbuka).
Hijab itu gelap, Kasyaf itu Nur.
Gelap itu jahil, Nur itu Ma’rifat.
Rasulullah SAW bersabda: “Firman Allah Ta’ala, aku ini sebagaimana yang disangka oleh hambaku, Aku bersama dia apabila ia ingat kepadaKu, apabila ia mengingatKu dalam dirinya, Akupun ingat padanya dalam diriKu, dan apabila ia mengingatKu dalam ruang yang luas, aku pun ingat padanya dalam ruang yang lebih baik.” (Hadis Qudtsi diriwayatkan oleh Bukhari). “Guru Sufi berkata: “Hatimu sekarang bersama Tuhanmu dan Tuhanmu bersama engkau, tidak jauh dari engkau, Ia mendekatkan engkau kepadaNya, dan mengenalkan engkau denganNya.”
Orang yang menjalankan Thariqat-dzikir secara sungguh- sungguh tidak mempunyai rasa khawatir dalam menjalani hidup, tidak waswas dalam menjalankan sesuatu kebenaran, dan tidak berprasangka buruk terhadap orang lain. Hati mereka tenang, jiwa mereka tenteram. Firman Allah SWT: “… (yaitu) orang-orang yang beriman dan dan hati mereka menjadi tenteram dengan dzikrullah. Ingatlah hanya dengan dzikrullah hati menjadi tenang” (Ar-Ra’d 28). Dengan menjalankan Thariqat-dzikir dan latihan-latihan Thariqat, kaum Sufi merasakan kelezatan ibadah, merasakan makna- makna Qur’an yang mulia, dan Sunnah yang suci, yang belum tentu dapat dirasakan oleh orang-orang lainnya.
Sampai di tingkat tertentu orang yang ber-thariqat-dzikir merasakan seluruh alam dan dirinya hancur lebur masuk ke dalam Allah SWT. Pada saat ini orang tersebut berada dalam tingkat yang fana. Firman allah dalam Al-Qur’an Surat Ar-Rahman ayat 26-27: “Semua yang ada akan fana binasa, yang kekal adalah Tuhan sendiri yang Besar dan Maha Mulia.”
Dzikrullah itu dapat mengangkat seorang hamba yang mu’min dari bumi syahwat ke langit ma’rifat. Rasulullah SAW bersabda “Tidak ada seorangpun yang berkata Laa Ilaaha Illallah secara ikhlas dalam hatinya, kecuali Tuhan membukakan pintu langit sehingga ia bisa meninjau arasy.” Guru Sufi mengatakan: “dalam asma yang tertinggi, orang dapat meningkat ke langit (mencapai martabat yang tinggi).”
Dalam tingkat ma’rifat ini hamba Allah dapat melihat segala yang ajaib dan yang aneh-aneh dan segala rahasia yang besar dan kaifiat yang agung serta hakikat. Imam Ghazali berkata: “Ma’rifat itu berada di atas semua jalan dan wasilah yang penting dan besar. Yang demikian itu adalah wasilah “Al-Kasyafful al-Bathini’ atau ‘Wasilatul Ilham ar-Ruhi’, yang membawa manusia kepada sifat-sifat yang baik, dan membersihkan hati serta menjauhkan diri dari cara berpikir orang-orang materialis.”
Asal Mula Diri Alam Makrifat
Adapaun yang bernama Rahasia itu sir ALLAH JUA.
Adapun kita ini bertubuhkan Muhammad zahir dan bathin, bertubuhkan Roh namanya maka tiada kita kenang kenang lagi hati dan tubuh hanya bertubuh bathin saja namanya artinya Muhammad jua yang jadi tubuh kita ini. Jadi hakekatnya kita ini bertubuh kan Roh Idhafi juga, sebab Muhammad itulah yang bernama Rahasia Sir Allah.
Adapun ujud itu ujud Allah Ta'ala, sekali kali jangan ada ujud yang lain daripada Allah Ta'ala inilah sebenar benarnya diri. Begitu pula kelakuan jangan ada yang lain, karena jika ada menjadi Nafsiah Hamba juga.
Adapun Nafsiah Robbah itu tidak menerima salah satu melainkan suci zahir bathin. Dzat artinya Ujud Allah semata mata, itu yang sebenar benarnya diri kita. Jangan ragu lagi pada kata ini, baik berjalan itu ujud Allah, melihat itu Bashar Allah dan berkata kata itu Kalam Allah dan lain lainnya, jangan ada ujud yang lain jika ada maka batal. Firman Allah
" Ana fi dzhoni Abdi " Aku berada dalam prasangka hamba Ku.
Maka sudah lengkap ujud kita ini, ujud Allah Ta'ala. Ingat lah akan firman Allah tersebut jangan lagi mengatakan batil jika sudah tahu ujud dirinya ujud Allah juga dan tiada lupa dan tiada berserikat dan tiada berhakekat dan bermarifat melainkan kudrat sendirinya.
" Al insaanu sirri wa anaa sirrahu wa sirri sifaati wa sifaatii laghairi " insan itu rahasia Ku dan Akulah rahasianya dan rahasia itu sifat Ku dan sifat Ku itu tiada lain dari pada Aku
Adapun Alif Allah itu yaitu Dzat Allah Ta'ala dan diri Allah Ta'ala dan sebenar benar nya diri yaitu Roh Nabi Muhammad, adapun sifat Allah Ta'ala itu rupa nabi Muhammad dan Af'al Allah Ta'ala itu yaitu kelakuan Nabi Muhammad. Maka inilah Roh Idhafi menjadi rahasia kepada kita didalam jantung tempatnya. Adapun Akbar itu tubuh kita ini jadi bisa berlaku laku dan sebagainya. Adapun rahasia itu sendiri memerintah hati dan hati itu memerintah tubuh berlakunya tubuh itu berbagai kelakuan. Inilah sebenar benarnya diri yang kita kenal siang dan malam, sebab semuanya daripada Muhammad.
Tatkala rahasia itu sehari semalam dalam rahim ibu HU . . HU pujinya
Tatkala rahasia itu tiga hari tiga malam dalam rahim ibu Subhanallahi pujinya artinya suci sendiri nya
Tatkala rahasia itu empat puluh hari empat puluh malam dalam rahim ibu Alhamdulillahi pujinya artinya Dzat Allah pujinya
Tatkala rahasia itu tiga bulan dalam rahim ibu Allahu Akbar pujinya artinya Maha Besar Allah meliputi sekalian alam
Tatkala rahasia itu sembilan bulan dalam rahim ibu La ilaha illa Allah pujinya
Tidak ada komentar:
Posting Komentar