Sunan Kalijaga
Sunan kalijaga merupkan wali yang paling populer ditanah jawa disamping Syeh siti jenar. Ayahnya adalah Arya Wilatikta adipati Tuban. Nama Kalijaga terkait dengan tradisi wali. Juga sering dikaitkan dengan nama sebuah desa Kalijaga di Cirebon. Kalangan Jawa mengkaitkannya dengan kesukaan wali ini untuk berendam (berjaga,kungkum) di sungai (kali) atau "jaga kali".
Sunan Kalijaga merupakan salah seorang perancang Masjid Agung Cirebon, dan Masjid Agung Demak. Tiang "tatal" (pecahan kayu) yang menjadi salah satu tiang utama mesjid merupakan kreasinya.
dalam pola dakwah, iya punya pola yang hampir sama dengan mentor sekaligus sahabat dekatnya, Sunan Bonang. Paham keagamaannya cenderung bersifat "sufiistik berbasis salaf" bukan sufi panteistik (pemujaan semata). Ia memilih kesenian dan kebudayaan sebagai sarana untuk berdakwah. Ia sangat toleran terhadap budaya lokal. Ia berpendapat bahwa masyarakat akan menjauh jika diserang pendiriannya.
Dengan demikian, ia terkesan sinkretik dalam mengenalkan islam. Ia menggunakan seni ukur, wayang, gamelan, serta seni suara suluk sebagai sarana dakwah. Dialah pencipta baju Taqwa, perayaan sakatenan, grebeg maulud, layang kalimasada, lakon wayang "Petruk dadi Ratu". ia juga mencipta karya tulis Serat Dewa Ruci dan Suluk Linglung. Lanskap pusat kota berupa keraton, alun-alun dengan dua beringin serta mesjid merupakan gagasan sunan kalijaga.
Metode dakwah tersebut sangat efektif. Sebagian besar adipati di Jawa memeluk islam melalui Sunan Kalijaga. Diantaranya adlah Adipati Pandanaran, Kartasura, Kebumen, Banyumas, serta Pajang.
Wejangan Beliau yang berupa lagu atau macapat :
Birahi ananireku,
aranira Allah jati.
Tanana kalih tetiga,
sapa wruha yen wus dadi,
ingsun weruh pesti nora,
ngarani namanireki
Timbullah hasrat kehendak Allah menjadikan terwujudnya dirimu; dengan adanya wujud dirimu menunjukkan akan adanya Allah dengan sesungguhnya; Allah itu tidak mungkin ada dua apalagi tiga. Siapa yang mengetahui asal muasal kejadian dirinya, saya berani memastikan bahwa orang itu tidak akan membanggakan dirinya sendiri.
Sipat jamal ta puniku,
ingkang kinen angarani,
pepakane ana ika,
akon ngarani puniki,
iya Allah angandika,
mring Muhammad kang kekasih.
Ada pun sifat jamal (sifat terpuji/bagus) itu ialah, sifat yang selalu berusaha menyebutkan, bahwa pada dasarnya adanya dirinya, karena ada yang mewujudkan adanya. Demikianlah yang difirmankan Allah kepada Nabi Muhammad yang menjadi Kekasih-Nya
Yen tanana sira iku,
ingsun tanana ngarani,
mung sira ngarani ing wang,
dene tunggal lan sireki iya Ingsun iya sira,
aranira aran mami
Kalau tidak ada dirimu, Allah tidak dikenal/disebut-sebut; Hanya dengan sebab ada kamulah yang menyebutkan keberadaan-Ku; Sehingga kelihatan seolah-olah satu dengan dirimu. Adanya AKU, Allah, menjadikan dirimu. Wujudmu menunjukkan adanya Dzatku
Tauhid hidayat sireku,
tunggal lawan Sang Hyang Widhi,
tunggal sira lawan Allah,
uga donya uga akhir,
ya rumangsana pangeran,
ya Allah ana nireki.
Tauhid hidayah yang sudah ada padamu, menyatu dengan Tuhan. Menyatu dengan Allah, baik di dunia maupun di akherat. Dan kamu merasa bahwa Allah itu ada dalam dirimu
Ruh idhofi neng sireku,
makrifat ya den arani,
uripe ingaranan Syahdat,
urip tunggil jroning urip sujud rukuk pangasonya,
rukuk pamore Hyang Widhi
Ruh idhofi ada dalam dirimu. Makrifat sebutannya. Hidupnya disebut Syahadat (kesaksian), hidup tunggal dalam hidup. Sujud rukuk sebagai penghiasnya. Rukuk berarti dekat dengan Tuhan pilihan.
Sekarat tananamu nyamur,
ja melu yen sira wedi,
lan ja melu-melu Allah,
iku aran sakaratil,
ruh idhofi mati tannana,
urip mati mati urip.
Penderitaan yang selalu menyertai menjelang ajal (sekarat) tidak terjadi padamu. Jangan takut menghadapi sakratulmaut, dan jangan ikut-ikutan takut menjelang pertemuanmu dengan Allah. Perasaan takut itulah yang disebut dengan sekarat. Ruh idhofi tak akan mati; Hidup mati, mati hidup
Liring mati sajroning ngahurip,
iya urip sajtoning pejah,
urip bae selawase,
kang mati nepsu iku,
badan dhohir ingkang nglakoni,
katampan badan kang nyata,
pamore sawujud, pagene ngrasa matiya,
Syekh Malaya (S.Kalijaga) den padhang sira nampani,
Wahyu prapta nugraha.
mati di dalam kehidupan. Atau sama dengan hidup dalam kematian. Ialah hidup abadi. Yang mati itu nafsunya. Lahiriah badan yang menjalani mati. Tertimpa pada jasad yang sebenarnya. Kenyataannya satu wujud. Raga sirna, sukma mukhsa. Jelasnya mengalami kematian! Syeh Malaya (S.Kalijaga), terimalah hal ini sebagai ajaranku dengan hatimu yang lapang. Anugerah berupa wahyu akan datang padamu.
Dari wejangan tersebut kita bisa lebih mengenal GUSTI ALLAH dan seharusnya manusia tidak takut untuk menghadapi kematian. Disamping itu juga terdapat wejangan tentang bagaimana seharusnya semedi yang disebut "mati sajroning ngahurip" dan bagaimana dalam menjalani kehidupan di dunia ini.
Yang Berupa Lagu dolanan Adalah :
"Ilir-ilir"
Lir-ilir, lir-ilir
Tandure wus sumilir
Tak ijo royo-royo
Tak sengguh temanten anyar
saat yg tepat untuk menyambut pengantin baru,
kita inilah mempelai baru itu, yg siap dan akan dikawinkan dengan kekasih kita tercinta,yakni Tuhan semesta alam. istilah perkawinan ini penggambaran yg paling tepat dari 'manunggaling kawula gusti', dan sangat lazim digunakan dlm bahasa2 muthasabiat di kitab2 agama samawi,.
Bocah angon, bocah angon
Penekna belimbing kuwi
Lunyu-lunyu penekna
Kanggo mbasuh dodod iro
permintaan tolong pada seorang gembala untuk memetik buah belimbing, walaupun susah permohonan itu terus dimintakan
gembala dlm pemahaman disini lebih kepada makna muthasabiat yakni menggambarkan sosok juru selamat, guru mursyid ataupun rasul,.
belimbing adalah sebuah simbol pengetahuan tentang ilmu ketuhanan.
sangat tepat kalo permintaan tolong itu dimintakan pada mereka, karena merekalah yg pegang kuncinya.
Dodod iro, dodod iro
Kumitir bedhah ing pinggir
Dondomana, jlumatana
Kanggo seba mengko sore
ini lebih pada penggambaran tentang tubuh yg fana ini, istilahnya: 'wanita' atau sapi betina(al baqarah), muncul diskriminasi pada wanita karena kurangnya pemahaman pada makna2 tersebut, yg muthasabiat di baca letter lux, yg mukhamat dibaca muthasabiat, maknanya jadi kebalik2.
bait ini menggambarkan tentang pakaian yg sudah sobek2, dan dalam proses penjahitan lagi karena akan dipakai untuk pesta nanti.
ya, ini ttg gambaran diri kita, yg kotor,kumuh,kucel maka perlu pembersihan untuk sekedar pantas menyambut "hari Tuhan", pertemuan itu.
Mumpung padhang rembulane
Mumpung jembar kalangane
Yo surak’a, surak “hiyoo”
mumpung waktu dan kesempatannya masih ada dan terbuka,
tunggu apa lagi, mari kita berpesta,..bersorak dan bergembira
Wawasan tentang wejangan ini :
bait pertama "lir ilir": tumbuhnya IMAN dan MAKRIFAT yang dalam kitab AL HIKAM karaya Ibnu 'Athoillah"' diibaratkan sebagai datangnya hari raya / kehiduoan baru, dimana manusia kembali dalam keadaan NOL.
Baut kedua, "cah angon........dst": jadi pemimpin itu seyogyanya seperti penggembala, yaitu berada diposisi belakang dan mendahulukan gembalaannya,
"penekno blimbing kuwi.......dst": blimbing mempunyai lima larit, dalam artian, untuk sampai ke maqom HAQIQOT, tetap harus melalui maqom SYARI'AT. dan sak haqiqot-haqiqote manusia tetap tidak boleh meninggalkan syariat. bukankah Nabi SAW. sebagai orang yang paling tinggi derjat ruhaninya tetap melaksanakan syari'at. karena syari'at ibarat lautan.
BAit ketiga "dodot iro....dst": dalam maqom fana' (sirno saking mahluq lebur marang Allah) biasanya seseorang dalam kondisi "majdzub", atau yang istilah fiqih tetap disebut dengan "junun", dalam maqom seperti inilah yang kemudian muncul istilah sufi yang kontroversial, yaitu "manunggaling kawulo iing Gusti", sebenaranya istilah ini hanya merupakan sebuah cetusan ilustras dariiseorang salik akan hilangnya kesadaran diri tentang "aku" (laa anaa illa huwa) atau lebih dekat lagi ( laa anaa illa anta)/(fana' fillah). maqom fana' ini bukan maqom puncak, karena masih ada lagi atasnya, untuk menyempurnakan maqom ini, yaitu maqom "baqo'", yang merupakan kembalinya kesadaran seorang salik akan kehambaannya.
(hamba adalah hamba, Tuhan adalah Tuhan). maqom baqo' ini Oleh Imam Ghozali juga disebut dengan (fanaa'ul fanaa'). "hilangnya sifat kedirian, sekaligus kembalinya kesadaran akan sifat hamba".
Bait ke empat "mumpung padhang rembulane...dst"; mumpung masih banyak Guru / Syaikh yang membimbing, maka jangan sia-siakan kesempatan ini.